“Program ini selaras dengan Pasal 5 Ayat 2 Perjanjian Paris, yang mendorong mekanisme Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+) berbasis hasil,” kata Kepala Bidang Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan Dinas Kehutanan Kaltim Susilo Pranoto di Samarinda, Minggu.
Ia menjelaskan Kaltim telah berjuang sejak 2009 untuk mendapatkan dana FCPF, dan pada 2023 berhasil memperoleh kucuran dana sebesar 20,9 juta dolar AS.
“Target insentif finansial dari program FCPF-Carbon Fund yang bekerja sama dengan Bank Dunia ini sekitar 110 juta dolar AS,” ungkap Susilo.
Program ini menargetkan penurunan emisi sebesar 22 juta ton CO2 dari sektor kehutanan dan lahan, mencakup sekitar 6,5 juta hektare area perhutanan yang terlindungi dari deforestasi dan degradasi.
Luas ini sekitar setengah dari total wilayah Kaltim yang mencapai 12,5 juta hektare.
Periode pengukuran kinerja program berlangsung dari 1 Juli 2019 hingga 30 Desember 2024, sementara pelaksanaan kegiatan program dimulai November 2020 dan akan berakhir 31 Desember 2025.
Dana awal 20,9 juta dolar AS telah didistribusikan kepada berbagai penerima manfaat. Kementerian Kehutanan serta UPT pusat di Kaltim, termasuk Taman Nasional Kutai (TNK) Bontang dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), menerima 9,27 persen (sekitar Rp28 miliar). Sementara itu, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) mendapatkan Rp161,7 miliar.
Pemerintah Provinsi Kaltim dan perangkat daerah terkait menerima Rp69 miliar, tujuh pemerintah kabupaten dan satu kota memperoleh Rp41 miliar, dan masyarakat di 441 desa serta 150 kelompok/komunitas mendapatkan Rp130 miliar, serta lembaga perantara Rp22 miliar.
“Penyaluran ini terbagi menjadi 25 persen tanggung jawab, 65 persen kinerja, dan 10 persen penghargaan,” jelas Susilo.
Penyaluran dilakukan langsung oleh BPDLH ke setiap instansi penerima. Meskipun progres positif, Kaltim masih menghadapi tantangan terkait sisa komitmen pendanaan sebesar 89 juta dolar AS dari Bank Dunia.
“Sampai saat ini masih dalam proses negosiasi agar dapat diselesaikan pada tahun 2025 ini,” kata Susilo.
Selain itu, Bank Dunia menyoroti percepatan pengakuan masyarakat hutan adat sebagai poin krusial yang perlu ditingkatkan, agar lebih banyak masyarakat adat dapat diakui melalui dana FCPF yang telah disalurkan.
Sumber : Antara